Apakah ada teori kritik Arab? Sebuah pertanyaan hangat dan mendesak yang telah saya lontarkan kepada diri saya sendiri sejak dua dekade lalu. Pertanyaan serupa pun kemudian saya dengar dari para peneliti dan aktifis di dunia pers sastra sejak era tersebut. Jawaban terhadap pertanyaan ini cukup beragam; berkisar pada mayoritas menafikan - minoritas menaruh harapan.

Ini adalah sebuah pertanyaan krusial karena menyangkut identitas dan prestise bangsa, berhubungan dengan bahasa dan prestasi kebudayaan umat ini. Dengan demikian, itu bukan pertanyaan sepele atau dangkal, melainkan pertanyaan yang juga bisa berbunyi seperti ini: “Apakah ada kritik Arab?”, sebuah pertanyaan yang menampakkan nada sangat optimis, menyisyaratkan sebuah kelegaan akan kreasi Arab yang telah menampakkan eksistensinya, meraih reputasi internasional dan terus memper dalam orientasinya dalam bentuk yang dapat memberi kepercayaan yang lebih tinggi. Akan tetapi –disamping kelegaan ini- juga mengisyaratkan adanya kegelisahan terhadap pemikiran kritik dan tanda tanya terhadap problematika-problematikanya.

Hanya saja, pertanyaan ini mengandung kadar kontradiktif yang nampak jelas sejak semula, karena 'ketidak hadiran teori' tidak terbatas pada dunia kritik sastra di era Arab kontemporer sekarang ini, akan tetapi mencakup seluruh lini kehidupan. Sebagai contoh; suatu hal yang aneh dalam bidang filsafat, karena problematika seperti ini pernah diketengahkan pada salah sebuah surat kabar pemerhati masalah kebudayaan beberapa waktu lalu: apakah terdapat teori-teori filsafat Arab, dan kenapa?

Jawaban-jawaban terhadap pertanyaan ini cukup beragam dan terkesan merisihkan. Ada yang mengingkari, meragukan ataupun menegaskan, akan adanya teori-teori filsafat Arab. Dan ini berhubungan dengan arah dari pertanyaan tersebut di atas. Sebagai contoh, kita tidak mempunyai teori-teori ilmiah yang dihasilkan oleh komunitas ilmiah Arab, karena komunitas ini pada dasarnya belum terbentuk sehingga ia dapat menghasilkan sejumlah teori, prestasi dan lembaga. Dan kita tidak mempunyai teori-teori pada bidang-bidang lainnya yang berhubungan dengan realita keseharian di era kontemporer sekarang ini. Maka ketika berusaha untuk memenuhi kebutuhan pada bidang ini, kita akan selalu kembali kepada praktek menghadirkan tradisi dan budaya silam. Kita selalu berusaha untuk menghadirkan harta tependam untuk menutupi kekurangan itu. Kenapa –secara khusus- kita memprediksikan pada satu sisi ilmu pengetahuan; yang berhubungan dengan pemikiran kesusastraan memiliki teori-teori Arab, sementara bidang-bidang ilmu pengetahuan dan kemanusiaan lainnya tidak memiliki teori-teori tersebut secara jelas dan pasti?

Lalu, apakah gerakan kritik terpisah dari kerangka filsafat dan otoritas keilmiahannya pada ilmu pengetahuan-ilmu pengetahuan yang berbeda, sehingga kita bisa menantikan dari gerakan tersebut munculnya teori Arab yang sketsa- sketsanya belum terlihat jelas dan pasti pada sisi-sisi ilmu pengetahuan lainnya?!

Hal tersebut adalah akumulasi pertanyaan- pertanyaan kompleks yang tumpang tindih satu sama lain, yang mesti kita hadapi dengan kesabaran dan perenungan.

Pertama-tama kita mulai dengan upaya untuk memberi defenisi terhadap sejumlah konsep. Upaya seperti ini merupakan langkah prosedur penting, dimana jika kita mampu melawatinya, maka kita akan dapat berbicara dengan bahasa yang komunikatif, karena mengungkapkan apa yang kita maksud, mesti berdasar pada kesepakatan terhadap terminologi-terminologi yang kita gunakan.

Apakah teori itu?
Menurut saya, sebuah teori mesti memiliki empat ciri tertentu yang menjadikannya pantas menyandang predikat tersebut, karena dalam bahasa sederhana, kita bisa saja memberi predikat “teori” untuk 'pikiran' apa saja.

Ciri pertama: bahwa ia memiliki sifat kemanusian secara umum. Teori pada salah satu tahapnya terkait dengan nalar manusia. Lalu pada tahap sekarang ini teori tidak lagi terkait dengan nalar dan logika. Akan tetapi terkait dengan ilmu pengetahuan.

Ciri kedua: ia harus bersifat ilmiah dan tidak bersifat ideologis. Terkadang sebuah teori diwarnai dengan kondisi ideologis yang cukup solid pada tahap kelahiran, perkembangan dan dalam proses menerimanya. Akan tetapi ia akan menjadi sebuah teori sesuai dengan tingkat keilmiahan yang dicapainya.

Ciri ketiga: ia menjelaskan fenomena-fenomena yang ia bahas. Dan dalam kasus yang kita bahas sekarang ini, ia harus membahas fenomena-fenomena kesusastraan secara khusus.

Ciri keempat: ia mampu melakukan transformasi dan perubahan dari masa ke masa.

Maka ketika sebuah teori tidak lagi dapat memenuhi syarat-syarat ini, ia akan berakhir masa berlakunya. Dan telah tiba saatnya untuk menyodorkan teori baru yang tidak memiliki aib-aib teori sebelumnya, untuk kemudian mengambil posisinya.

Ini adalah suatu hal yang jelas, dapat diterima dan lumrah serta terjadi pada ilmu-ilmu natural. Dan diperkirakan terjadi pada ilmu-ilmu kemanusiaan.

Teori kritik berhubungan dengan sastra dan seni untuk menjawab sejumlah pertanyaan mendasar, seperti: apakah sastra itu? Sebuah pertanyaan akan substansi yang telah dilontarkan sejak pertengahan abad lalu, dan masih terus dilontarkan sampai sekarang ini. Sekiranya kita menggunakan logika filsafat fenomenologi, kita cukup melontarkan pertanyaan lain yang dapat menggantikan posisi pertanyaan mengenai substansi tadi. Pertanyaan tersebut akan berbentuk seperti ini: apa fenomena -fenomena sastra itu? Pertanyaan seperti ini akan lebih ilmiah meskipun kurang substansial.

Dengan demikian pertanyaan tentang fenomena- fenomena dan jenis-jenis kesusastraan adalah pertanyaan utama dalam teori kritik apapun.

Pertanyaan kedua: apa jaringan kolerasi kreasi sastra dengan pihak-pihak lainnya, seperti hubungannya dengan kehidupan, kreatornya, dan hubungannya dengan penerimanya. Sebuah teori kritik harus mengetengahkan konseps tentang jaringan dari hubungan sastra dengan pihak-pihak yang beragam tersebut.

Pertanyaan ketiga: apa pungsi-pungsi yang diemban oleh kreasi sastra? Pungsi estetika, seni dan pungsi-pungsi sosial.

Pertanyaan terakhir: apa hubungan sastra spesifik dengan kerasi-kreasi seni lainnya yang juga merealisasikan sebagian dari pungsi-pungsi estetika tersebut? Hubungan sastra dengan musik, seni rupa dan seni-seni lainnya, termasuk seni modern seperti perfilman dan lain-lainnya.

Menurut saya, -teori kritik apapun- untuk dapat membentuk sistem yang terdiri dari prinsip-prinsip homogenis dan sempurna serta merealisasikan syarat-syarat sebuah teori, seharusnya mengemukakan konsep dasar tentang sisi-sisi tersebut, menjelaskan dan menyingkap bentuk pemahaman dan kerangka berpikir dimana ia berada.

Permasalahan lain adalah ketika kita berbicara tentang teori, kita memberinya sifat: 'Arabiyyah / ke-Araban. Dan jika kita sepakat mengenai konsep teori, maka hendaknya kita juga akan sepakat tentang konsep ke-Araban. Apa ke-Araban itu?

Apakah yang dimaksud adalah hubungan etnis pada sejumlah suku dan sekte-sekte serumpun pada sejumlah negara yang berbeda yang menempati satu kawasan geografis? Atau ia merupakan identitas nasional yang berpilar pada bahasa dan kebudayaan dengan seluruh komposisi-komposisi agama dan sipil?! Barangkali konsep ke-Araban lebih dekat kepada sisi filosofis jika dibandingkan dengan sisi etnis tadi. Sebagai contoh; orang-orang Mesir sama dengan orang-orang Syiria dan orang-orang Iraq, dimana ras mereka telah berbaur. Dan ide kejernihan etnis adalah sebuah legenda, dan siapa yang menganggap hal itu ada maka dia adalah seorang yang rasial. Ilmu antropologi telah menegaskan secara ilmiah bahwa bukan saatnya lagi untuk berbicara hal seperti itu. Dengan demikian paham ke-Araban adalah indentitas kebangsaan yang didasari oleh bahasa dan kebudayaan dengan seluruh komposisi-komposisi agama dan spritualnya. Sistem norma-norma yang telah menjadi ciri khas dari kebudayan ini, itulah yang merepresentasikan ke- Araban.

Ke-Araban ini mesti berbeda dengan identitas- identitas lainnya. Dia mesti bersifat lokal dan terbatas yang tidak melebur pada selainnya. Ia dapat berinteraksi dengan unsur-unsur yang berada di sekitarnya, dan unsur-unsur berhubungan dengannya. Akan tetapi ia tidak akan melebur ke unsur-unsur tersebut. Karena jika hal itu terjadi maka ia tidak dapat mewujudkan eksistensinya.@uS

* Di-Indonesiakan oleh: @uS, dari makalah: **Shalah Fadel: "Hal Tuwjad Nazhariyyah Naqd 'Arabiyyah?", Majalah Al-'Arabi: Wizaratu l-I'lam al-Kuwaitiyyah, edisi 560 - Juli 2005.
** Pemikir, cendikiawan dan kritikus Mesir. Lahir di Syabas al-Syuhada' Delta Tengah - Mesir pada tanggal 21 Maret 1938. Beliau adalah Guru Besar Kritik Sastra pada Fakultas Sastra - Universitas 'Ain Syams Kairo, Ketua Jurusan Studi Sastra - Institut Riset dan Studi Arab - Liga Arab Kairo, dan Anggota Lembaga Bahasa Arab Kairo.