Termimologi Rancu.
Hasil yang dapat kita deduksi dari defenisi dasar di atas; bahwa terminologi “Teori Kritik Arab” adalah terminologi rancu. Saya telah menulis sebuah makalah dengan judul seperti ini lima belas tahun yang lalu, karena saya melihat adanya kontradiksi antara dua sisi dari termeinologi tersebut. Sebuah teori untuk dapat dikategorikan “teori”, ia harus memiliki ciri kemanusian dan bersifat global untuk seluruh bangsa. Dan untuk menyandang sifat “’’Arabiyyah / ke-Araban” ia harus memiliki ciri kebangsaan yang berhungan dengan indentitas kebangsaan yang terbatas. Maka mengumpulkan keduanya merupakan proses penggabungan hal-hal yang kontradiktif.

Ketika kita memaparkan sejarah teori-teori, kita tidak dapat berbicara tentang teori Prancis dalam ilmu pengetahuan, atau teori Inggris dalam seni, karena kemungkinannya adalah apakah dengan klaim seperti ini akan menjadikan teori itu tergolong ilmiah atau tidak. Adapun masalah; dimana ia muncul? Dalam bahasa apa ia berkembang? Dan dari rahim budaya mana ia dilahirkan?, merupakan tema lain yang tidak dapat dijadikan alasan untuk memberikan sifat kebangsaan kepadanya, atau menisbatkannya kepada sebuah identitas atau bahasa. Akan tetapi yang kita saksikan pada lingkup internasional, adalah adanya kontribusi-kontribusi radikal melembaga yang dilakukan oleh bangsa-bangsa yang beragam.

Dalam teori-teori kritik –secara khusus- tentu saja terdapat kontribusi-kontribusi Prancis, Inggris, Jerman dan Amerika terhadap teori-teori kritik kontemporer. Lalu apakah ada kontribusi-kontribusi Arab dalam teori-teori kritik kontemporer tersebut?

Teori adalah sebuah sistem berpikir homogenis yang memiliki sejumlah syarat. Munculnya sebuah teori mesti seiring dengan adanya kemampuan berpikir sistematis tentang sejumlah prinsip yang solid dan mengantarnya kepada tahap yang sangat abstraktif dan integral di satu sisi, dan dapat diterapkan secara ilmiah pada sisi lainnya. Hal seperti ini membutuhkan ruang kebebasan yang luas. Seorang teoretikus tidak mesti konsisten dengan hal-hal permanen atau bertolak dari aksiomatis yang tidak dapat dilanggar, karena jika hal itu terjadi, ia hanya akan berpungsi sebagai penjelas, dan bukan seorang teoretikus.

Maka syarat utama untuk menciptakan teori adalah memiliki kebebasan dan kemampuan untuk melepaskan diri dari ideologi; kepercayaan religius, aliran-aliran politik, kecenderungan pribadi dan ambisi nasional.

Pemilikan seorang peneliti terhadap kebebasannya yang utuh merupakan titik tolak utama menuju sikap filosofis, karena sikap yang dimulai dengan mengasumsikan hal-hal yang aksioma dan permanen yang tidak dapat dilanggar, sama sekali tidak melebihi status sebagai penjelas dari prinsip-prinsip dan hal-hal yang aksioma tersebut.

Dalam pemikiran Arab, menurut hemat saya, -semoga saya tidak salah- terdapat nalar-nalar matang dan bakat-nakat murni serta kemampuan yang dimiliki oleh orang-orang kita sendiri yang memiliki pilar-pilar filosofis dan keberanian yang direfleksikan oleh kebebesan.

Syarat kedua: bahwa struktur-struktur teoritis tidak lahir sekaligus, akan tetapi ia selamanya tercipta dalam komunitas-komunitas dan rahim-rahim yang dapat mendukung dan melindunginya. Dalam arti bahwa sebuah struktur teoritis tidak dimulai dari titik nol. Ia selamanya bertumpu pada prestasi-prestasi sebelumnya yang dipilah oleh peneliti secara seksama, lalu dijadikan tumpuan sesuai dengan konsep pemikiran akumulasi epistimologi. Kemudian ia mengaflikasikan bagian-bagian yang ia pilah untuk memproduksi sampel teoritis, dengan merealisasikan apa yang disebut dalam epistemologi dengan alienasi epistemologi.

Sebagaimana diketahui bahwa terminologi “alienasi epistemologi / al-qathi’ah al-ma’rifiyyah” adalah terminologi bereputasi jelek dalam kebudayaan Arab, karena ia selalu dipahami sebagai penghapusan masa lalu dan ketidak pedulian terhadap tradisi serta melompatinya. Padahal terminologi ini tidak berarti seperti itu. Alienasi epistemologi adalah mengkomsumsi habis-habisan karya-karya masa lalu dalam waktu tertentu -dan tidak berarti mengenyampingkan dan melompatinya- untuk selanjutnya membangun konsepsi yang kontra dengan karya-karya masa lalu tersebut. Akan tetapi sekiranya akumulasi ini tidak ada, maka kita sebagai teoretikus dan cendikiawan tidak dapat menciptakan alienasi. Artinya, saya tidak mengalienasi apa yang saya tahu dan melewatinya, akan tetapi saya mengalienasi apa yang saya tidak tahu.

Dengan demikian, kita mengatakan bahwa syarat kedua: adalah akumulasi epistemologi, atau kita seharusnya membangun struktur-struktur kita dengan bertolak dari prestasi-prestasi orang lain, karena setiap pekerjaan atau pikiran yang dimulai dari titik nol, tidak akan dapat mengkualifikasi seseorang ke struktur teoritis konperhensif.

Barangkali kita memiliki ciri yang membantu ciri akumulasi epistemologi yaitu ciri kebaktian, yang tercermin pada guru-guru generasi kita ini. Kita semua beranggapan bahwa diri kita ini adalah perpanjangan dari aliran para pemikir seperti Thaha Husain, Ahmad Amin, 'Abbas al-'Aqqad, Zaki Najib Mahfuzh dan seterusnya.

Di sini jelas bahwa akumulasi epistemologi setidaknya terealisasi pada diri kita, sebagaimana syarat pilar filosofis terealisasi, meskipun syarat akumulasi keilmiahan tidak terealisasi sesuai dengan kadar yang diharapankan; belum membentuk kreasi seni, dan belum menjadi tabiat riset kita. Kita mesti berusaha keras untuk menjadikannya sebagai tabiat riset kita dan bagian dari tradisi ilmiah kebangsaan.

Syarat ketiga: adalah syarat problematik, yang saya namakan dengan menerobos rintangan. Pemikiran regional yang terbatas tidak akan dapat memproduksi pigur pemikiran pada tingkat kemanusian yang konperhensif, kecuali ketika ia dapat menerobos sejumlah rintangan.

Menurut saya ada tiga penghalang utama yang mesti diterobos:
Rintangan pertama: adalah rintangan dalam melakukan komunikasi langsung dengan produk kemanusian. Seorang pemikir harus mempunyai jalur yang menghubungkannya dengan produksi kemanusiaan; bahasa kedua selain bahasa ibunya yang ia gunakan dalam berbicara dan menulis. Barangkali ada orang yang mengatakan, bahwa terjemahan telah mengemban tugas seperti ini. Akan tetapi –menurut saya- terjemahan hanya akan memberikan; apa yang diinginkan oleh penerjemah, apa yang diperbolehkan oleh orang lain, dan tidak menyodorkan kepada kita pengetahuan yang kita inginkan di saat kita butuh untuk mengetahuinya. Dengan demikian seorang cendikiawan, peneliti dan pemikir serta mereka yang berkeinginan mempunyai pilar teoritis, sumbangsih kemanusiaan, mesti memiliki jalur yang menghubungkan mereka secara langsung dengan produk kemanusiaan, dan rintangan seperti ini mesti ia terobos.

Rintangan kedua: yang lebih rumit dan detail, yaitu rintangan psikologi dan ideologis. Misalnya: kita melewati masa dimana permusuhan –terhadap Barat secara umum, dan terhadap Amerika secara khusus- telah menjadi slogan-slogan keseharian yang kita angkat siang malam, mengutuk Bush, memaki penjajahan, memusuhi Barat dan mengambil sikap kontra terhadapnya, dimana Barat mengkonspirasi, memerangi dan menuduh kita sebagi teroris serta memporak-porandakan bangsa kita. Sepintas, hal-hal tersebut di atas akan membentuk rintangan psikologi dan ideologis. Dan orang-orang yang mengekspos hubungan intim dengan Barat, sekarang ini menjadi malu dengan apa yang mereka lakukan. Saya adalah salah seorang diantara mereka yang malu dengan hubungan seperti ini. Saya tidak sanggup untuk membongkar rahasia ini, karena sejumlah kondisisi kejiwaan, kebangsaan dan nasional, yang pasti akan menempatkan kita dalam posisi krisis. Akan tetapi, apakah hal seperti ini akan membawa kita untuk memperkuat alasan-alasan alienasi dari konteks produksi ilmu pengetahuan terutama pada ilmu-ilmu natural dan humaniora, karena Barat yang terkutuk ini melancarkan perang kepada kita?!

Untuk menjawab pertanyaan ini, saya ingin mememori sebuah sikap serupa, yang dihadapi oleh generasi pelopor itu sendiri; generasi Thaha Husain yang kita jadikan sebagai teladan, dimana ia lahir pada sebuah negeri yang dijajah oleh orang-orang Eropa -di saat Amerika belum memenuhi syarat untuk dapat dikategorikan sebagai sebuah negara adi daya-. Bagaimana sikap Thaha Husain terhadap penjajahan? Ia menghadapinya dengan sikap nasionalisme, menjalin persahabatan yang kuat, intim dan kaya dari sudut keilmiahan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Bagaimana ia dapat memberi solusi terhadap problematika dengan sangat pleksibel di kalangan generasi muda di masanya? Ia tidak melarang generasi muda Arab yang sedang melawan kekuatan kolonial Barat untuk mengajukan –misalnya- pertanyaan-pertanyaan tentang rahasia kemajuan Anglo-Saxon, mendengungkan kebudayaan Prancis atau kebudayaan-kebudayaan dan prestasi-presasi pemikiran, keilmiahan dan kreasi Barat. Karena hal ini adalah masalah yang sama sekali tidak berhubungan dengan masalah kolonialisme. Mereka melakukan hal itu bukan karena sekedar tipuan cerdik untuk melepaskan diri dari krisis. Akan tetapi untuk mencari perangkat-perangkat perlawanan sesungguhnya. Karena melawan penjajahan tidak mungkin hanya dengan memiliki senjata yang tidak mampu kamu produksi dan bukan dengan prangkat-prangkat yang kamu tidak kuasai pengaplikasiannya. Akan tetapi solusi itu dengan memiliki ilmu, seni dan pengetahuan.

Rintangan ketiga: apa yang saya namakan dengan rintangan wawasan. Misalnya: berbicara tentang kritik sastra, maka terdapat sastra-sastra kemanusian lainnya yang kaya seperti sastra Arab. Dan sekiranya para kritikus dan teoretikus kita dapat memberi kontribusi terhadap teori epistimologi kritik, maka perhatian mereka seharusnya tidak hanya terbatas pada prestasi dan karya sastra Arab saja. Akan tetapi juga harus memperhatikan prestasi dan karya kemanusiaan secara umum sehingga mereka dapat mendeduksi tata cara produksi. Pemikiran lokal tidak cukup untuk menciptakan pemikiran kemanusian yang universal. Misalnya: kita belum dapat menciptakan teater dengan kadar memadai. Kita telah berusaha mengembangkannya di komunitas Arab dalam kurung dua abad dan belum berhasil menuai hasilnya. “Direksi teater” gagal pada umumnya. Dan hal ini berbuntut pada realita yang menyatakan bahwa teater hanya sekedar pementasan-pementasan lawak, pengeksposan tubuh, nyanyian dan seterusnya. Akan tetapi apakah kita putus asa terhadap teori teater, karena kita gagal mengembangkannya di komunitas Arab, dan belum mendapatkan warisan dari karya-karya Taufiq al-Hakim di masa sekarang ini. Akan tetapi teater dunia mempekenalkan kepada kita aliran-aliran lain. Menurut hemat saya, seorang yang mempelajari kritik sastra mesti melewati wawasan lokalnya yang terbatas, untuk mampu memberi sumbangsih teoritis yang lebih signifikan.@uS