Kritik Kultural 'Cultural Criticism / al-Naqd al-Tsaqafi' adalah salah satu produk terbaru dalam dunia kritik pada umumnya. Metode ini mengkonsentrasikan diri pada dimensi kultural sebuah teori kritik.

Metode yang terbilang hadir pada tahap postmodernisme ini merupakan tahap mutakhir dari sekian loncatan spesifik di dunia teori kritik yang berkisar pada polemik kesastraan sastra – metakesastraan sastra 'adabiyyatul adab – mitaadabiyyatul adab'. Oleh sebab itu pertanyaan sentral dan signifikan yang dicuatkannya adalah "Apakah dalam karya sastra terdapat 'sesuatu yang lain' selain kesastraan?"

Dalam prakteknya, kritik kultural berupaya untuk mentransformasi perangkat kritik dari proses pembacaan estetis murni tanpa memandang ketimpangan-ketimpangan sistem yang ia miliki, menuju kritik dan penyingkapan ketimpangan-ketimpangan sistem sebuah wacana.

Dalam kategori sastra Arab misalnya, kritik kultural melihat adanya sistem-sistem kultural 'negatif' yang terimbas dari dan oleh karya sastra secara umum, dan puisi secara khusus. Pada tahap selanjutnya, ide dan nilai tertentu yang dikandung oleh karya-karya sastra ini berhasil melembagakan prilaku non-manusiawi dan non-demokratis di kalangan individu maupun komunitas Arab.

Pada intinya, kultur Arab -dimana puisi dinilai sebagai sesuatu yang paling urgen-, divonis telah memicu proses puitisasi diri dan norma. Puisi yang bernotabene 'Diwanul Arab' dijadikan sebagai standar dan kriteria dalam memandang segala bentuk nilai dan norma.

Oleh sebab itu, tugas utama yang diemban oleh kritik kultural adalah menelusuri ketimpangan-ketimpangan sistem pada profil Arab yang puititatif, sebagaimana terkandung dalam Diwanul Arab yang nampak jelas pada prilaku sosial dan kultural secara umum.

Tugas seperti ini sangat berlawanan dengan apa yang digeluti oleh kritik sastra 'Literary Criticism / al-Naqd al-Adabi' yang memfokuskan diri pada lini estetis teks. Kritik sastra di mata kritik kultural telah berhasil mengetengahkan ke dunia kesusastraan seni apresiasi dan resepsi estetis teks. Akan tetapi ia telah gagal dalam memproteksi diri dan dunia kesusastraan untuk tidak tergelincir ke dalam kondisi kebutaan kultural yang universal terhadap ketimpangan-ketimpangan sistem yang terselubung di balik tirai estetis. Ketimpangan-ketimpangan ini terus berkembang dan mendapat dukungan estetis; puitis maupun retorik, hingga menjadi sebuah simpel prilaku yang menghegemoni mental maupun fisik. Yang sangat disayangkan bahwa di luar kesadaran, simple-simpel yang sangat elegan ini telah menjadi sumber-sumber ketimpangan sistem.

Jadi, apa yang nampak sebagai sesuatu yang estetis dan modernis dalam standar studi sastra, adalah sesuatu yang reaksionis dan terkebelakang dalam standar kritik kultural.

***

Pada diri kultur Arab itu sendiri terdapat ketimpangan sistem yang berperan dalam membentuk sebuah wacana munafiq dan termanipulasi, tidak realistis, semu dan tidak rasional. Para pujangga di sepanjang sejarah kesusastraan Arab dinyatakan tidak luput dari tanggung jawab moral dimana mereka telah terlibat langsung dalam meletakkan dan mengembangkan wacana-wacana yang berpredikat buruk seperti itu.

Gambaran 'Aku yang tirani / ana t-thaghiyah', bukanlah suatu bentuk yang telah mengakar pada diri komunitas Arab, dan bukan sesuatu hal yang orisinal pada individu-individunya. Ia merupakan hasil lukisan kreasi puitis yang telah membias ke seluruh wacana dan prilaku budaya. Pada kesimpulannya, sistem kultural Arab secara universal adalah sebuah sistem yang dikuasai oleh sebuah lembaga bernama puisi. Sebuah lembaga yang menjadi subyek utama dalam pembentukan, pengembangan dan keberlansungan sistem kultural Arab.

Tidak bisa diingkari, puisi merupakan salah satu pilar terpenting dalam pembentukan profil Arab, yang telah mewarisi segala kebaikan dan keburukan yang dikandungnya. Ia telah memberikan nilai-nilai moral dan estetis yang sangat agung.

Akan tetapi yang perlu dikoreksi kembali adalah adanya komposisi-komposisi orisinal dari profil Arab itu sendiri telah dibentuk oleh puisi secara negatif; sektarian dan penuh egois, yang menciptakan corak-corak prilaku dan kultural yang selanjutnya menjadi ciri sangat signifikan dalam kehidupan komunitas Arab di sepanjang sejarah.

Apa yang dikenal dengan puisi pujian / al-mahid, telah memperkenalkan sebuah sistem moral yang seiring dengan waktu, tumbuh berkembang dan memformat sebuah gambaran akan hubungan sosial antar golongan di masyarakat Arab. Corak puisi semacam ini berpijak pada landasan kebohongan yang diterima oleh seluruh kalangan; pemuja, yang terpuja dan kalangan kultural di sepanjang masa. Semuanya menerima seni permainan kebohongan dan kemunafikan ini, bahkan ikut serta meramaikan dan menikmati, hingga permainan seperti ini menjadi sebuah tradisi sosio-kultural yang diminati dan dinantikan kehadirannya.

Puisi pujian adalah seni estetis paling efektif dalam kesusastraan Arab di masa keemasannya, sehingga wacana pujian seperti ini berhasil melekat pada pikiran dan jiwa komunitas Arab, meskipun tidak luput dari sketsa-sketsa yang sangat berbahaya, di antaranya; sketsa kultur pengemis munafiq, dan sketsa sang terpuja yang sarat dengan sifat-sifat yang terkemas puitis, egois, dan maha tinggi, jauh di atas garis realita dan kenyataan.

Pada corak dan tipe selanjutnya, puisi dan para pujangga telah membumikan nilai-nilai negatif pada kehidupan komunitas Arab. Nilai-nilai ini dapat simpulkan dari perkataan seorang pujangga bahwa, "Seorang penyair yang tidak memuji, tidak menghina, dan tidak membanggakan diri, hanya dinilai seperempat penyair saja". Oleh karena itu gambaran nyata dari kehidupan puisi Arab akan mengetengahkan profil penyair pengemis lugas dan cendikiawan munafiq (dalam al-madih), penyair tirani (dalam al-fakhr), dan penyair jahat nan menakutkan (dalam al-hija').

Di samping hal tersebut di atas, kharisma dan kepopuleran puisi telah memikau para kritikus dan kaum cendikia Arab yang terhimpun dalam dunia kritik sastra. Mereka terpicu dalam sebuah orientasi pengkristalan ide dan pemikiran yang mencerminkan ketimpangan sistem kultural Arab.

Hal seperti ini –misalnya- dapat kita temui dalam 'ide penyair superior / fikratu l-fahl', yang oleh kritik kultural dinilai sebagai kreasi puitis - kultural paling berbahaya, apalagi karena ide seperti ini berhubungan dengan konsep 'tingkat superior penyair / tabaqatu fuhuli sy-syu'ara', yang sarat dengan sikap individualis dan kesombongan. Mereka menempatkan para penyair sebagai 'para raja bahasa / asy-syu'arau umaraul kalam'. Ide seperti ini juga diaplikasikan secara munafiq ketika mereka meletakkan konsep Ilmu Balaghah Klasik yang mereka identikkan dengan "Menggambarkan kebenaran dalam bentuk kebathilan dan kebathilan dalam bentuk kebenaran".

'Aku seorang superior / ana l-fahl' adalah adegan yang sangat mendominasi dunia teks puisi Arab. Dengan demikian teks-teks tersebut dinilai sebagai sumber pengilhaman sikap narsisme pada diri bangsa Arab. Sikap pembesaran diri ini diiringi oleh keinginan kuat untuk menghapus keberadaan orang lain 'tadhkhimu z-zat wa ilghau l-akhar'.

Akan tetapi, apakah ada yang lebih terkutuk ketika menghilangkan keberadaan orang lain, dilakukan melalui tindakan lalim dan sikap tirani? Pelu diketahui bahwa, kelaliman seorang superior, bukan sekedar kelaliman reaktif, akan tetapi kelaliman yang aktif dan orisinal.

Seorang di antara mereka berteriak angkuh;
Bughatin zhalimina wa ma zhulimna #
Wa lakin sanabdau zhalimina
Para tirani, orang-orang lalim dan kami tak pernah terlalimi #
Bahkan kami akan memulai bersikap lalim

Apa yang disaksikan oleh dunia Arab dewasa ini, tidak lain adalah buah dari nilai-nilai negatif yang dikandung oleh teks-teks dan pemikiran puitis seperti di atas. Apa yang mewarnai wacana politik, pers, sosial, budaya, olahraga dan bahkan seluruh lini kehidupan Arab dewasa ini, adalah aplikasi dari ide "Ana l-fahl" dan konsep Balaghah Arab klasik "Tashwiru l-bathil fi shurati l-haqq".

***

Nampaknya, kritik kultural dalam mengetengahkan teori kritiknya berpijak pada sejumlah realita kehidupan yang menyentuh titik problematika yang dihadapi dunia Arab. Dan dalam proses analisa, kritik kultural mendapatkan teks-teks kesusastraan sebagai akar dan sumber pengilhaman terhadap problematika tersebut.

Ini merupakan titik lemah pada diri kritik kultural, karena ia bertolak dari kasus dan realita, dan tidak bertolak dari teks-teks kesusastraan itu sendiri. Perlu diketahui bahwa pilar-pilar yang membentuk kritik kultural ini di latar belakangi oleh sejumlah teori dan studi yang pada umumnya mengulas teori interaksi terhadap kultur dan bukan teori interaksi terhadap teks.

Oleh sebab itu mereka terkesan sangat dekonstruktif dalam menganalisa corak-corak puisi. Padahal teks-teks seperti ini sangat sarat dengan makna dan kemungkinan. Teks-teks kesusastraan adalah dunia simbolik yang membutuhkan proses interpretasi dan hermeneutika yang lebih empatik.

Dan ketika kritik kultural membabat habis sikap studi-studi yang hanya memperhatikan sisi estetis sebuah teks, maka sungguh kritik kultural ini pun telah jatuh pada lobang yang sama; ketika ia melihat bahwa sebuah teks hanya berwajah tunggal; hanya memiliki aib. Kritik kultural pun telah gagal ketika hanya menyoroti aib sebuah teks.@uS